BERPIKIR MENULIS ILMIAH

MAKALAH

Perkembangan Sistem Pendidikan di Era Globalisasi Terhadap

Masyarakat Multikultur di Indonesia

Dosen : Martua Sihaloho

Asisten : Rizal Razak

Disusun  Oleh:

YUNITA PURBO ASTUTI

NRP.I34070024

DEPARTEMEN KOMUNIKASI PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

_______________________________________________________

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

“Kemajuan pendidikan suatu bangsa merupakan salah satu dasar dari perkembangan demokrasi, yang mana masyarakatnya diakui hak-hak asasinya” berdasar pernyataan (Sukamdani, 2005). Tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alenia empat mengemukakan tujuan utama kemerdekaan ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini diwujudkan dengan membangun masyarakatnya yang berbasis ilmu pengetahuan. Artinya, masyarakat dituntut untuk meningkatkan kemampuan analitisnya dalam berpikir rasional dan juga empiris sehingga melepas pandangan tradisional yang mengungkungnya. (Tilaar, 2004) memaparkan “Masyarakat tradisional bersifat stagnasi yang tidak mampu mengadopsi inovasi secara cepat seiring perkembangan di luar secara tidak langsung akan merasa terasing dari perkembangan jaman yang telah berlangsung di luar sana.” Masyarakat yang demikian disebut sebagai masyarakat yang masih takut mengambil resiko. Bertolak dari pandangan tersebut, masyarakat modern di era globalisasi ini merupakan masyarakat yang berani menanggung resiko meskipun resiko tersebut mengancam kelangsungan hidupnya di masa depan nantiya. Hal ini sesuai dengan pernyataan (Tilaar, 2004) “Transforrmasi dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern antara lain didukung oleh adanya perkembangan ilmu dan tekologi.” Perkembangan ilmu pengetahuan yang menyebabkan penerapan teknologi di dalam pengembangan industri pada abad ke 18. Ilmu pengetahuan juga telah menyebabkan tuntutan terhadap pendidikan rakyat yang berwujud wajib belajar di beberapa negara di mulai pada abad ke-19. Globalisasi secara radikal tidak langsung telah mengubah pola kehidupan manusia. Dari sini dapat dinyatakan pula globalisasi mendukung adanya revolusi terhadap berbagai sektor kehidupan manusia di muka bumi ini. Hal ini secara umum dirasakan oleh negara–negara di dunia khususnya lebih berpengaruh terhadap negara-negara berkembang di mana masyarakatnya masih cenderung tradisional, misalnya Indonesia.

Bangsa Indonesia yang pluralistik tidak terlepas dari kehidupan bersama masyarakatnya yang tergolong multikultural. Adanya masyarakat dengan berbagai

budaya ini tentu dipersiapkan dengan pendidikan yang multikultur pula agar nantinya tidak shock menghadapi perubahan akibat dari arus globalisasi saat ini.

1.2 Rumusan masalah

Dalam penulisan makalah ini dapat dirumuskan beberapa permsalahan yang akan dikaji lebih lanjut yaitu mengenai:

  1. Bagaimana perkembangan sistem pendidikan di Indonesia selama ini yang masyarakatnya tergolong multikultur?
  2. Mengapa perkembangan IPTEK  belum terserap secara merata di beberapa daerah di Indonesia?
  3. Bagaimana strategi kebijakan pendidikan yang tepat untuk diterapkan di Indonesia dalam menghadapi era globalisasi?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, sebagai berikut:

3        Mengetahui sejauh mana perkembangan sistem pendidikan pada masyarakat tradisional Indonesia yang multikultur dan berbasis otonomi daerah.

4        Mempelajari latar belakang ketidakmerataan daya serap perkembangan IPTEK terhadap masyarakat di beberapa daerah di Indonesia

5        Mengetahui strategi kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan untuk  menghadapi arus globalisasi di abad ke-21 ini.

1.4 Manfaat

Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah dikemukakan, maka penulisan makalah ini ditujukan agar masyarakat Indonesia lebih memahami arti pentingnya pendidikan di era globalisasi ini, dimana pendidikan sudah menjadi kebutuhan pokok (basic need) dalam kehidupan masyarakat.

Mencari upaya yang tepat dalam penanganan masalah pendidikan yang selama ini dialami masyarakat Indonesia sehingga masyarakat di beberapa daerah di Indonesia lebih mampu dalam memahami, menganalisis, serta mengaplikasikan perkembangan IPTEK demi terwujudnya cit-cita bangsa Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

BAB II   PEMBAHASAN

2.1 Perkembangan Sistem Pendidikan

Kebijakan pendidikan yang diterapkan di Indonesia selama ini mengalami perubahan seiring pergantian pemerintahan yang terjadi. Kondisi ini  sangat terasa di masa pemerintahan rezim Orde Baru. Pada tahun 1959 sampai tahun 1998 secara kasat mata, pendidikan menjadi ajang politik kepentingan kelompok-kelompok tertentu yang menginginkan eksistensinya dalam pemerintahan yang sedang dijalankanya, bukan bertumpu pada kepentingan bangsa. Terasa dalam periode ini segenap aspek kehidupan di dominasi oleh elit politik yang berkuasa meskipun peningkatan pembangunan di berbagai sektor telah terlena dirasakan pada masa itu. Namun pembobrokan mental juga tidak dapat kita elakan dengan bukti merajalelanya kasus-kasus Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang dampaknya masih kita rasakan hingga saat ini. Pada masa pemerintahan Orde Baru, pendidikan di Indonesia mengalami perkembangn pesat dimulai pada tahun 1984, Indonesia telah berhasil mencanangkan program wajib belajar enam tahun. Keberhasilan ini mendapatkan penghargaan Aviccena dari UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organisation). Kemudian program ini dilanjutkan dan ditingkatkan kembali yaitu pada tahun 1994 yaitu adanya gerakan wajib belajar sembilan tahun. Program ini ditujukan pula untuk meningkatkan mutu dan pemerataan pendidikan.1

Kurikulum pendidikan silih berganti seiring pergantian pemerintahan dan sampailah pada kurikulum yang sekarang sedang diterapkan yaitu kurikulum KBK. Sistem ini mengedepankan kepentingan peserta didik dan tidak hanya menyuapi mereka dengan ilmu yang dimiliki oleh para pendidik. Jadi, pendidik (guru) hanya sebagai fasilitator yang mendukung kompetensi peserta didiknya. Salah satu ciri dari sistem KBK (Kurikulum  Berbasis Kompetensi) ialah berorientasi pada tujuan yang dirumuskan dalam sistem Pendidikan Nasional yang terdapat pada UU No. 20 tahun 2003 tentang mewujudkan visi pendidikan di Indonesia dalam mempersiapkan manusianya yang mandiri di masa depan.

1 Fuad Hasan. 1995. Dimensi Budaya dan Pengembangan Sumber Daya Manusia

2.2 Ketidakmerataan Perkembangan IPTEK

Terdapatnya daerah yang belum siap menerima desentralisasi pendidikan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Sumber daya manusia yang ada di daerah tersebut belum memadai, baik dari segi kulaitas juga segi kuantitasnya.Berdasar penjelasan Tilaar “Masyarakat belum mampu memahami, menganalisis, dan mengaplikasikan perkembangan IPTEK yang masuk ke daerahnya melalui konsep desentralisasi pendidikan”.2 Hal ini dipandang dari segi kualitasnya yang dapat dikatakan masih rendah. Sedangkan kuantitasnya diketahui bahwa jumlah dari tenaga ahli seperti megister terbatas bahkan tidak ada sama sekali, sehingga tidak mencukupi dalam memberikan pengarahan pada masyarakatnya yang tergolong tingkat pengetahuannya masih rendah.

Sarana dan prasarana belum tersedia secara cukup dan memadai, karena anggaran pendapatan asli daerah (PAD) rendah tidak mampu membiayai pembangunan khususnya bidang pendidikan. Hal ini disebabkan ketersediaan dana berbeda-beda di setiap daerah. Seperti yang telah dijelaskan oleh Tilaar berikut ini:

“Adapula daerah yang masih dropping, dimana masih asyik dan terlena dengan bantuan dari pemerntah pusat. Bila daerah seperti demikian langsung dengan tegas menerapkan sistem desentralisasi yang mengedepankan kemandirian dalam mengelola daerahnya, maka akan terjadi future shock, kecuali pemerintah secara lambat laun membatasi bantuan penyediaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan kebijakan desentralisasi pendidikan di daerah tersebut”.3

Di lain pihak, solusi yang memungkinkan untuk ditempuh ialah bekerja sama dengan daerah lain yang pendapatan asli daeranya lebih besar sehingga dapat dilakukan subsidi silang antar daerah yang berbeda PAD-nya. Sehingga daerah tersebut mampu membiayai pembangunan khususnya di bidang pendidikannya.

²      R.A.H.Tilaar, 1987, Futurisme dan Pengambilan Kebijakan Pendidikan Menyongsong Abad      ke-21, Jakarta: PT. Grasindo, hal. 13.

3         R.A.H.Tilaar, 2004, Multikulturalisme Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, Jakarta: PT. Grasindo. hal. 25.

Aspek psikologis di sini juga berperan langsung pada berhasil tidaknya program desentralisasi pendidikan di daerah otonom yang berbeda-beda. Mental yang belum siap menghadapi perubahan ini memiliki pandangan yang berbeda-beda dalam menangkap dan menerapkan desentralisasi pendidikan di  daerahnya. Adanya rasa gamang atau takut terhadap upaya pembaruan juga menjadi faktor penghambat perkembangan dan pemerataan IPTEK di beberapa daerah otonom di Indonesia. Misalnya, dengan pembaruan kurikulum pendidikan akan menyebabkan pihak pendidik kualahan menghadapinya, karena mereka akan mengadakan uji coba mekanismenya serta melakukan sosilaisasi terhadap kurikulum tersebut yang membutuhkan waktu yang tidak sebentar agar bisa diterapkan secara maksimal.

Tilaar memaparkan bahwa ”…adanya berbagai macam bentuk respon budaya lokal terhadap globalisasi sebagai strategi identifikasi diri dan pemeliharaan diri komunitas loka”.4

2.3 Strategi Pendidikan Nasional

(Chan dan Sam, 2004) menyatakan”Bangsa yang besar ialah bangsa yang terdidik oleh bangsa itu sendiri”.Artinya, siapa lagi yang lebih memahami bangsa tersebut, selain bangsa itu sendiri yang mengerti latar belakang sumber daya yang dimilikinya meliputi masyarakat dan budaya yang ada di dalamnya.

Keefektifan sistem pendidikan di tentukan oleh berbagai faktor baik manusianya maupun lingkungannya yang dikelola dengan manajemen pendidikan yang baik dan berkualitas.

Sesuai dengan penyataan (Oiver,1996 dalam Syafrudin, 2002)”Semua perubahan pendidikan memerlukan partisipasi lingkungan, guru bekerja satu sama lain dengan para pelajarnya.” Jadi, diperlukan kebijakan khusus untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang berilmu dan tidak ”gaptek” lagi dengan perkembangan IPTEK yang menjadi trend di abad 21 ini.

Berdasar TAP MPR No. 7 tahun 2001 dijelaskan bahwa visi masa depan Indonesia di abad ke-21 mencakup dua tujuan yang ingin dicapai, yaitu membangun masyarakat yang demokratis dan membangun manusia Indonesia yang cerdas dan bermoral. Perwujudan dari cita-cita tersebut didukung oleh pengakuan terhadap eksistensi masyarakat Indonesia beserta budayanya yang tegolong pluralistik dengan kehidupan multikulturalistik di dalamnya.

Pengakuan otonomi daerah yang disahkan pada tahun 1999. Dimana di dalamnya diatur mengenai pengelolaan daerahnya sendiri sesuai sumber daya yang dimiliki.  Salah satu upaya yang dilakukan ialah dengan mengadopsi kebijakan pendidikan multikultur yang telah diterapan di beberapa negara lain sebelumnya, seperti di apa yang terjadi di Afrika Selatan dengan politik segregasinya yang mengasingkan kelompok kulit putih dengan hak-hak istimewanya termasuk hak mendapatkan pendidikan. Hal ini dapat dijadikan percontohan untuk dikoreksi lebih lanjut, apakah kebijakannya cocok diterapkan di Indonesia atau tidak. Apabila sesuai maka bangsa Indonesia dapat mengadopsi inovasi tersebut demi peningkatan kualitas SDM di Indonesia

BAB IV   KESIMPULAN

Sistem pendidikan di Indonesia menjadi persoalan kompleks yang memerlukan penanganan serius dari pemerintah. Semakin banyaknya tunas bangsa yang putus sekolah dilatarbelakangi oleh keterbatasan kemampuan intelektual maupun kemampuan materi.

Kebijakan pendidikan yang diterapkan pemerintah hendaknya memperhatikan tiga factor uatama. Pertama, Sumber Daya Manusia, meliputi tenaga pendidik dan peserta didik. Peningkatan kualitas SDM sudah mulai diterapkan pemerintah. Upaya konkret yang ditempuh pemerintah berupa penggalakan wajib belajar sembilan tahun dan peningkatan kesejahteraan para pendidik dengan cara menaikan gaji PNS dan mengangkat guru Bantu menjadi PNS. Kedua, lingkungan yang memberikan pengaruh penting, yaitu masalah pendanaan. Keterbatasan  dana pendidikan yaitu hanya,  sebesar 9,7 persen ternyata tidak sesuai dengan anggaran yang seharusnyadialokasikan khusus di bidang pendidikan sebesar 20 persen dari APBN. Berarti dari sani diketahui bahwa pemerintah belum menerapkan sepenuhnya pasal 31 UUD 1945. Ketiga, manajemen pendidikan yang diterapkan . Kebijakan pendidikan yang diterapkan hendaknya memperhatikan kondisi demografi Indonesia.  Kondisi Indonesia dengan masyarakatnya yang multikultur membutuhkan penanganan khusus. Setelah diterapkan sistem otonomi daerah di Indonesia ternyata beberapa daerah ada yang sudah mampu mengatur dan mengelola daerahnya sendiri dalam hal melaksanakan pembangunan pendidikan. Namun, bagi daerah yang secara nyata belum mampu melaksanakan otonomi darah secara menyeluruh di berbagai aspek kehidupan, mereka semakin terpuruk dengan kualitas pendidikan yang rendah.

Leave a comment